Kamis, 04 Agustus 2016

Pesona Tari Gandrung Bayuwangi dalam Vestival 2015


#SELAMAT MALAM PARA KAWAN#
(Menyimak info sekitar Gandrung Banyuwangi dengan fokus
pada Gandrung Sewu Vestifal 2015)
________________________________________________________







________________

Kata Pengantar
________________

Para kawan dimana-pun berada...!

Sungguh cerita dibalik Tari Gandrung ini sangat menarik dan
tentu sumua itu dapat anda ketahui dengan membaca postingan
ini.

Karena menariknya kisah dibalik Tari ini, maka tak heran
jika bayuwangi membuat Tari Gandrung ini sebagai ikon dari
daerahnya.


Berikut info lengkapnya dalam dukungan animasi Festival
Gandrung Sewu 2015.

Selamat menyimak...!


___________________________________________

Sekilas info Tari Gandrung - Wikipedia
___________________________________________










* Pengertian

Gandrung Banyuwangi adalah salah satu jenis tarian yang
berasal dari Banyuwangi.

* Asal istilah

Kata ""Gandrung"" diartikan sebagai terpesonanya masyarakat
Blambangan yang agraris kepada Dewi Sri sebagai Dewi Padi
yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat.

* Pertunjukan Gandrung Banyuwangi

Tarian Gandrung Banyuwangi dibawakan sebagai perwujudan rasa
syukur masyarakat setiap habis panen. Kesenian ini masih
satu genre dengan seperti Ketuk Tilu di Jawa Barat, Tayub
di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, Lengger di wilayah
Banyumas dan Joged Bumbung di Bali, dengan melibatkan seorang
wanita penari profesional yang menari bersama-sama tamu (terutama
pria) dengan iringan musik.

Gandrung merupakan seni pertunjukan yang disajikan dengan iringan
musik khas perpaduan budaya Jawa dan Bali. Tarian dilakukan
dalam bentuk berpasangan antara perempuan (penari gandrung)
dan laki-laki (pemaju) yang dikenal dengan "paju"

Bentuk kesenian yang didominasi tarian dengan orkestrasi khas
ini populer di wilayah Banyuwangi yang terletak di ujung timur
Pulau Jawa, dan telah menjadi ciri khas dari wilayah tersebut,
hingga tak salah jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan
gandrung.

Kenyataannya, Banyuwangi sering dijuluki Kota Gandrung dan
patung penari gandrung dapat dijumpai di berbagai sudut
wilayah Banyuwangi.

Gandrung sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti
perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-
acara resmi maupun tak resmi lainnya baik di Banyuwangi maupun
wilayah lainnya. Menurut kebiasaan, pertunjukan lengkapnya
dimulai sejak sekitar pukul 21.00 dan berakhir hingga
menjelang subuh (sekitar pukul 04.00).

* Sejarah








Kesenian gandrung Banyuwangi muncul bersamaan dengan dibabadnya
hutan “Tirtagondo” (Tirta arum) untuk membangun ibu kota
Balambangan pengganti Pangpang (Ulu Pangpang) atas prakarsa
Mas Alit yang dilantik sebagai bupati pada tanggal 2 Februari
1774 di Ulupangpang Demikian antara lain yang diceritakan
oleh para sesepuh Banyuwangi tempo dulu.

Mengenai asalnya kesenian gandrung Joh Scholte dalam makalahnya
antara lain menulis sebagai berikut: Asalnya lelaki jejaka itu
keliling ke desa-desa bersama pemain musik yang memainkan
kendang dan terbang dan sebagai penghargaan mereka diberi
hadiah berupa beras yang mereka membawanya di dalam sebuah
kantong. (Gandroeng Van Banyuwangi 1926, Bab “Gandrung Lelaki”).

Apa yang ditulis oleh Joh Scholte tersebut, tak jauh berbeda
dengan cerita tutur yang disampaikan secara turun-temurun,
bahwa gandrung semula dilakukan oleh kaum lelaki yang membawa
peralatan musik perkusi berupa kendang dan beberapa rebana
(terbang). Mereka setiap hari berkeliling mendatangi tempat-
tempat yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat Balambangan sebelah
timur (dewasa ini meliputi Kab. Banyuwangi) yang jumlahnya
konon tinggal sekitar lima ribu jiwa, akibat peperangan yaitu
penyerbuan Kompeni yang dibantu oleh Mataram dan Madura pada
tahun 1767 untuk merebut Balambangan dari kekuasaan Mangwi,
hingga berakirnya perang Bayu yang sadis, keji dan brutal
dimenangkan oleh Kompeni pada tanggal 11 Oktober 1772.

Konon jumlah rakyat yang tewas, melarikan diri, tertawan,
hilang tak tentu rimbanya atau di selong (di buang) oleh
Kompeni lebih dari enam puluh ribu jiwa. Sedang sisanya
yang tinggal sekitar lima ribu jiwa hidup telantar dengan
keadaannya yang sangat memprihatinkan terpencar cerai-berai
di desa-desa, di pedalaman, bahkan banyak yang belindung di
hutan-hutan, terdiri dari para orang tua, para janda serta
anak-anak yang tak lagi punya orang tua.(telah yatim
piyatu) dan selain itu ada juga yang melarikan diri
menyingkir ke negeri lain. Seperti ke Bali, Mataram,
Madura dan lain sebagainya.

Setelah usai pertunjukan gandrung menerima semacam imbalan
dari penduduk yang mampu berupa beras atau hasil bumi lainnya
dan sebagainya.

Dan sebenarnya yang tampaknya sebagai imbalan tersebut,
merupakan sumbangan yang nantinya dibagi-bagikan kepada
mereka yang keadaannya sangat memprihatinkan dipengungsian
dan sangat memerlukan bantuan, baik mereka yang mengungsi
di pedesaan, di pedalaman, atau yang bertahan hidup dihutan-
hutan dengan segala penderitaannya walau peperang telah usai.

Mengenai mereka yang bersikeras hidup di hutan dengan
keadaannya yang memprihatinkan tersebut, disinggung oleh
C. Lekerkerker yang menulis beberapa kejadian setelah Bayu
dapat dihancurkan oleh gempuran Kompeni pada tanggal
11 Oktober 1772, antara lain sebagai berikut; Pada tanggal
7 Nopember 1772, sebanyak 2505 orang lelaki dan perempuan
telah menyerahkan diri ke Kompeni, Van Wikkerman mengatakan
bahwa Schophoff telah menyuruh menenggelamkan tawanan
laki-laki yang dituduh mengobarkan amuk dan yang telah
memakan dagingnya dari mayatnya Van Schaar.








Juga dikatakan bahwa orang-orang Madura telah merebut para
wanita dan anak-anak sebagai hasil perang. Sebagian dari
mereka yang berhasil melarikan diri kedalam hutan telah
meninggal karena kesengsaraan yang dialami mereka.

Sehingga udara yang disebabkan mayat-mayat yang membusuk
sampai jarak yang jauh. Yang lainnya menetap dihutan-hutan
seperti; Pucang Kerep, Kali Agung, Petang dan sebagainya.
Dan mereka bersikap keras tetap tinggal dalam hutan dengan
segala penderitaannya.

Berkat munculnya gandrung yang dimanfaatkan sebagai alat
perjuang dan yang setiap saat acap kali mengadakan pagelaran
dengan mendatangi tempat-tempat yang dihuni oleh sisa-sisa
rakyat yang hidup bercerai-berai di pedesaan, di pedalaman
dan bahkan sampai yang masih menetap di hutan-hutan dengan
keadaannya yang memprihatinkan, kemudian mereka mau kembali
kekampung halamannya semula untuk memulai membentuk kehidupan
baru atau sebagaian dari mereka ikut membabat hutan Tirta
Arum yang kemudian tinggal di ibukota yang baru di bangun
atas prakarsa Mas Alit. Setelah selesai ibu kota yang baru
dibangun dikenal dengan nama Banyuwangi sesuai dengan konotasi
dari nama hutan yang dibabad (Tirta-arum). Dari keterangan
tersebut terlihat jelas bahwa tujuan kelahiran kesenian ini
ialah menyelamatkan sisa-sisa rakyat yang telah dibantai
habis-habisan oleh Kompeni dan membangun kembali bumi
Belambangan sebelah timur yang telah hancur porak-poranda
akibat serbuan Kompeni (yaitu yang dewasa ini meliputi
Daerah Kabupaten Banyuwangi).

Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah
gandrung Semi, seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia
sepuluh tahun pada tahun 1895.

Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita
penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga
ke dukun, namun Semi tak juga kunjung sembuh.

Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti “Kadhung sira
waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Bila kamu
sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi).

Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan seblang sekaligus
memulai babak baru dengan ditarikannya gandrung oleh wanita.

Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan
oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan dan,
menurut laporan Scholte (1927), instrumen utama yang
mengiringi tarian gandrung lanang ini adalah kendang.

Pada saat itu, biola telah digunakan. Namun, gandrung
laki-laki ini lambat laun lenyap dari Banyuwangi sekitar
tahun 1890an, yang diduga karena ajaran Islam melarang
segala bentuk transvestisme atau berdandan seperti
perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki baru benar-
benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari
terakhirnya, yakni Marsan.








Menurut sejumlah sumber, kelahiran Gandrung ditujukan untuk
menghibur para pembabat hutan, mengiringi upacara minta
selamat, berkaitan dengan pembabatan hutan yang angker.

Tradisi gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti
oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan
Gandrung sebagai nama panggungnya. Kesenian ini kemudian
terus berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon
khas setempat. Pada mulanya gandrung hanya boleh ditarikan
oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak
tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan
keturunan gandrung yang mempelajari tarian ini dan
menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di samping
mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak sejak
akhir abad ke-20.

* Tata Busana Penari

Penari Gandrung di Lombok, 1922.
Tata busana penari Gandrung Banyuwangi khas, dan berbeda
dengan tarian bagian Jawa lain. Ada pengaruh Bali
(Kerajaaan Blambangan) yang tampak.

* Bagian Tubuh

Busana untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari beludru
berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta manik-
manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit
leher hingga dada, sedang bagian pundak dan separuh punggung
dibiarkan terbuka.

Di bagian leher tersebut dipasang ilat-ilatan yang menutup tengah
dada dan sebagai penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias
masing-masing dengan satu buah kelat bahu dan bagian pinggang
dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta diberi hiasan
kain berwarna-warni sebagai pemanisnya. Selendang selalu
dikenakan di bahu.

* Bagian Kepala

Kepala dipasangi hiasan serupa mahkota yang disebut omprok yang
terbuat dari kulit kerbau yang disamak dan diberi ornamen berwarna
emas dan merah serta diberi ornamen tokoh Antasena, putra Bima
yang berkepala manusia raksasa namun berbadan ular serta menutupi
seluruh rambut penari gandrung. Pada masa lampau ornamen Antasena
ini tidak melekat pada mahkota melainkan setengah terlepas seperti
sayap burung. Sejak setelah tahun 1960-an, ornamen ekor Antasena
ini kemudian dilekatkan pada omprok hingga menjadi yang sekarang ini.

Selanjutnya pada mahkota tersebut diberi ornamen berwarna perak
yang berfungsi membuat wajah sang penari seolah bulat telur,
serta ada tambahan ornamen bunga yang disebut cundhuk mentul
di atasnya. Sering kali, bagian omprok ini dipasang hio yang
pada gilirannya memberi kesan magis.

* Bagian Bawah









Penari gandrung menggunakan kain batik dengan corak bermacam-
macam. Namun corak batik yang paling banyak dipakai serta
menjadi ciri khusus adalah batik dengan corak gajah oling,
corak tumbuh-tumbuhan dengan belalai gajah pada dasar kain
putih yang menjadi ciri khas Banyuwangi. Sebelum tahun 1930-an,
penari gandrung tidak memakai kaus kaki, namun semenjak dekade
tersebut penari gandrung selalu memakai kaus kaki putih dalam
setiap pertunjukannya.

* Lain-lain

Pada masa lampau, penari gandrung biasanya membawa dua buah
kipas untuk pertunjukannya. Namun kini penari gandrung hanya
membawa satu buah kipas dan hanya untuk bagian-bagian
tertentu dalam pertunjukannya, khususnya dalam bagian
seblang subuh.

* Musik Pengiring

Musik pengiring untuk gandrung Banyuwangi terdiri dari satu
buah kempul atau gong, satu buah kluncing (triangle), satu
atau dua buah biola, dua buah kendhang, dan sepasang kethuk.

Di samping itu, pertunjukan tidak lengkap jika tidak diiringi
panjak atau kadang-kadang disebut pengudang (pemberi semangat)
yang bertugas memberi semangat dan memberi efek kocak dalam
setiap pertunjukan gandrung. Peran panjak dapat diambil
oleh pemain kluncing.

Selain itu kadang-kadang diselingi dengan saron Bali, angklung,
atau rebana sebagai bentuk kreasi dan diiringi electone.

_________________________________________________________

FESTIVAL GANDRUNG SEWU, BUKTI NYATA ATRAKSI 
BUDAYA MENJADI KEKUATAN WISATA DAERAH
_________________________________________________________











* Pemahaman Awal

Festival Gandrung Sewu Banyuwangi - Banyuwangi dikenal sebagai
kota Gandrung dan Gandrung identik dengan Banyuwangi.

Tari Gandrung merupakan kesenian asli yang lahir dan berkembang
di Banyuwangi dan memiliki sejarah yang panjang. Gandrung yang
berasal dari Bahasa Banyuwangi yang berarti suka, tergila-gila,
atau terpesona.
Masyarakat Banyuwangi sendiri menterjemahkan gandrung sebagai
wujud terpesona atau kekaguman masyarakat Blambangan yang
agraris kepada Dewi Sri sebagai Dewi Padi yang membawa
kesejahteraan bagi masyarakat.

Tari Gandrung dipersembahkan sebagai wujud rasa syukur masyarakat
sehabis panen (Wikipedia). Filosofi penghormatan terhadap Dewi
Sri inilah yang menjadi spirit masyarakat untuk mengembangkan
dan melestarikan Tari Gandrung.

Awalnya Tari gandrung dibawakan oleh penari laki-laki dengan
dandanan perempuan. Namun dengan berkembangnya Islam di bumi
Blambangan, Gandrung Lanang mulai pudar.
Konon hal ini berkaitan dengan ajaran Islam yang menabukan
lelaki berdandan ala perempuan. Dan era Gandrung lanang benar-
benar berakhir setelah kematian penari terakhirnya, Marsan.

Setelah itu muncullah Semi, yang saat itu baru berusia 10 tahun,
ditahbiskan sebagai Gandrung perempuan pertama pada tahun 1895.
Sejak itu tari Gandrung lebih dominan dibawakan oleh perempuan
daripada laki-laki.









Di Banyuwangi secara resmi Gandrung telah dinobatkan sebagai
ikon daerah. Bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Banyuwangi
2002, Gandrung dikukuhkan sebagai maskot Kabupaten Banyuwangi.
Diberbagai tempat dibangun patung penari Gandrung, menggantikan
lambang sebelumnya, ular berkepala Gatot Kaca.

Di sekolah-sekolah, tari Gandrung menjadi sebagai kegiatan ekstra
kurikuler yang diwajibkan. Di masyarakat tari Gandrung juga
dikembangkan melalui sanggar-sanggar tari.

Melalui SK Bupati nomor 147 tahun 2013, Tari Jejer Gandrung
yang merupakan bagian dari tari gandrung ditetapkan sebagai
tari selamat datang di kabupaten Banyuwangi.
Sejak itu tari Gandrung dijadikan tarian selamat datang untuk
kegiatan resmi, seperti menyambut tamu penting atau ditampilkan
dalam acara-acara budaya dan pariwisata.

Puncaknya, pada tahun 2013 Tari Gandrung ditetapkan sebagai
"Warisan Budaya Tak Benda" oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (kini Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar
dan Menengah).

Dengan pengakuan secara resmi tersebut, stigma negatif tentang
keberadaan penari Gandrung di masa lalu pun berlalu dengan
sendirinya. Gandrung yang memang sudah ada sejak berabad-abad
lalu semakin mengakar di hati masyarakat Banyuwangi. Gandrung
semakin digandrungi. Dimana-mana tari Gandrung selalu dimunculkan,
dalam acara disekolah maupun karnaval di masyarakat, selalu ada
Gandrung disana.

Bahkan Gandrung pun sudah melalang buana. Diberbagai misi-misi
kebudayaan ke luar negeri, tarian Gandrung sering tampil.

Setidaknya Gandrung pernah ditampilkan di Jepang, Korea Selatan,
dan Tiongkok. Yang terakhir, legenda gandrung Banyuwangi, Temu,
menari di salah satu rangkaian acara Frankfurt Book Fair 2015
di Jerman pertengahan Agustus lalu.

Gandrung memang telah menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.
Gandrung tidak terpinggirkan didaerahnya, nasibnya tidak
seperti berbagai kesenian daerah lain yang mati suri.

Meskipun demikian Pemkab Banyuwangi tidak terlena. Pemkab Banyuwangi
menyadari untuk menumbuhkan kecintaan dan melestarian budaya tidak
bisa dilakukan secara instan dan terpisah dengan pembangunan
daerah. Salah satunya melalui pengembangan pariwisata. Dari
sini muncul ide menampilkan gandrung secara massal. Maka
lahirlah Gandrung Sewu.

* Gandrung Sewu adalah ide spektakuler. 

Selain dirancang untuk mempromosikan Banyuwangi, Gandrung Sewu
juga digunakan untuk menumbuhkan kecintaan masyarakat
Banyuwangi terhadap seni dan budaya daerahnya.

Kami mencari cara bagaimana agar anak-anak penari diberi panggung
yang istimewa. Karena selama ini mereka hanya tampil di desa saja.
Tidak ada kebanggaan lebih, karena yang nonton hanya orang-orang
di lingkungannya," kata Bupati Anas.

Gandrung Sewu menjadi atraksi istimewa karena melibatkan lebih
dari seribu penari, panggungnya di bibir pantai, penontonnya
berskala nasional dan dikemas secara unik dengan tema yang membumi.
Hal ini memberi kebanggaan yang luar biasa bagi si penari Gandrung
yang biasanya hanya tampil didepan penonton lokal

...lebih lanjut di :

___________

Penutup
___________

Demikian infonya para kawan sekalian...!

...dan...

Selamat malam...!










_____________________________________________________________________
Cat :
Paju Gandrung Sewu 2013 - YouTube
Festival Gandrung Sewu 2015 di Banyuwangi di lihat Jokowi Surbaya - YouTube
FESTIVAL GANDRUNG SEWU 2015 - BANYUWANGI - YouTube
https://www.youtube.com/watch?v=ydY4Fm_ZfSY





Tidak ada komentar:

Posting Komentar