Selasa, 22 November 2016

Sejarah Disco dan Discotek

#SELAMAT MALAM PARA KAWAN#
(Menyimak info Sejarah dan Perkembangan Musik Disco dan
Discotek)
_________________________________________________________








_________________

Kata Pengantar
_________________


Para kawan sekalian...!

Anda masih ingat bagiana populernya Musik dan Lagu Disco
di tahun 70'abbukan...? Yah...! Di tahun itu Dunia terasa
penuh dengan berbagai macam musik Disco.

Tapi sesudahnya...!

Tiba-tiba saja musik dan lagu ini tidak kedengaran kabar
beritanya, tidak terlihat dan terdengar lagi lagi orang-orang
memainkan / menarikan ataupun menyanyi ala gaya disco ini.

Sudahkah anda tahu, "Bagaiman musik dan lagu ini tiba-tiba
tidak menjadi diminati banyak orang / alias seperti mati suri".

Jika belum tahu...!

Maka tetaplah di postingan ini.

...dan...

Selamat menyimak, lewat iringan macam animasi Tari Disco.
__________________________________

Sekilas info tentang Disco
__________________________________













Disko adalah salah satu aliran musik untuk dansa yang
berkembang pada tahun 1970-an di klub-klub dansa Amerika
Serikat.

Disk Jockey di klub dansa memutar serangkaian lagu dari
piringan hitam tanpa terputus agar orang dapat terus menari
tanpa berhenti. Istilah disko juga dipakai untuk acara, ruang
atau gedung tempat orang berdansa/menari diiringi rekaman
musik sebagai bentuk hiburan. Disko berasal dari kata
discothèque, bahasa Perancis untuk klub dansa,bahasa
Indonesia: diskotek).

Di diskotek diputar musik yang dipakai sebagai musik
pengiring dansa.[12] Istilah disko awalnya secara spesifik
dipakai untuk musik dansa Afrika-Amerika. Namun pada 1970-an,
istilah disko dipakai untuk menyebut semua musik dansa
yang sedang populer.


Di diskotek, para DJ secara khusus memainkan piringan hitam
berirama soul dan funk yang cocok dipakai untuk berdansa.
Setelah sering diputar di lantai disko, lagu-lagu tersebut
mulai sering diputar di radio-radio dan laris terjual.

Lagu-lagu disko yang menjadi hit sepanjang tahun 1970-an
di antaranya "Fly, Robin, Fly" (1975) dan "Get Up and Boogie"
(1979) dari Silver Convention, "Get Dancin" (1975) dari
Disco-Tex and the Sex-O-Lettes, "The Groove Line" dan
"Boogie Nights" (1977) dari Heatwave, "I Love the Nightlife"
dari Alicia Bridges, "Brick House" (1977) dari The Commodores,
"I Will Survive" (1978) dari Gloria Gaynor, "Ring My Bell"
(1979) dari Anita Ward, "Y.M.C.A" (1978) dari Village
People, dan "We Are Family" dari Sister Sledge.[13]

* Sejarah









Musik disko lahir pada awal tahun 1970-an ketika dansa-dansi
sudah menjadi usang dan musik rock yang dimainkan pemusik kulit
putih sedang berjaya.

Di kelab malam dan gedung pertunjukan di utara Inggris, seperti
di Blackpool Mecca dan Wigan Casino, pengunjung kulit hitam
berdansa beramai-ramai diiringi koleksi piringan hitam R&B
dari tahun 1950-an dan 1960-an yang nantinya dikenal sebagai
musik northern soul.

Sementara itu, di Inggris selatan, benua Eropa, dan komunitas-
komunitas gay terjadi kecenderungan untuk kembali ke musik pop
untuk berdansa yang dipengaruhi oleh musik orang kulit hitam.

Di Amerika Serikat, generasi muda orang kulit putih sedang
menggemari musik orang kulit hitam yang dirilis bukan oleh
label mayor yang berkedudukan di New York dan Los Angeles,
melainkan oleh label-label independen seperti TK Records dari
Miami, Philadelphia International Records dan All Platinum
Records dari New Jersey.[11]

Sebelum berkembang sebagai sebuah kategori artistik yang
akhirnya mencakup gerakan-gerakan tari berikut gaya busana
dan model rambut, istilah disko dipakai untuk sebuah konteks
musik baru yang dirintis para disc jockey di klub-klub dansa
underground di New York City yang ramai dikunjungi terutama
oleh kalangan minoritas (Afrika-Amerika dan Latino) serta gay.

Fenomena disko berakar dari perpaduan artistik kaum gay dan
klub-klub underground, terutama klub-klub gay Afrika-Amerika
di New York City pada akhir 1960-an hingga awal 1970-an.

Dengan memakai dua pemutar piringan hitam, para DJ memutar
lagu-lagu yang sebagian besar berirama soul, funk, dan Latin
dari piringan hitam.[14] Para DJ waktu itu mulai menciptakan
aliran musik tak terputus di pesta-pesta dansa yang diadakan
di kelab malam, loteng, dan bar mengikuti gaya DJ Francis
Grasso yang bekerja di diskotek gay Sanctuary, New York City.

Piringan hitam musik dansa yang menjadi hit pada tahun 1972
adalah lagu berirama funk "Get on the Good Foot" dari James
Brown dan "I'll Be Around" dari grup vokal The Spinners yang
beraliran R&B. Artikel pertama mengenai disko ditulis oleh
Vince Aletti pada September 1973 untuk majalah Rolling
Stone. Acara disko pertama di radio disiarkan oleh WPIX-FM
di New York City pada tahun 1974.[17]

Pada tahun 1973, lagu-lagu berirama funk menjadi populer,
misalnya: "Why Can't We Live Together" dari Timmy Thomas,
"Superstition" dan "Higher Ground" dari Stevie Wonder, dan
"Keep on Truckin'" dari Eddie Kendricks.

Meskipun demikian, industri rekaman lambat menyadari adanya
tren musik baru hingga kata "rock" mulai disisipkan pada
judul-judul lagu yang diciptakan untuk dipakai berdisko.

George McCrae membuat hit pada tahun 1974 dengan "Rock Your
Baby" dan Hues Corporation menempatkan lagu "Rock the Boat"
di urutan nomor satu Billboard Hot 100.[11] Keduanya menandai
kelahiran musik piringan hitam untuk berdansa yang mudah
diterima semua kalangan berkat ritme yang tidak terlampau
cepat dan melodi yang mudah ditiru pendengar.

* Puncak kepopuleran

Dari label TK Records yang berpusat di Miami, KC and the
Sunshine Band pimpinan Harry Wayne Casey menandai puncak
keemasan disko dengan serangkaian lagu-lagu hit, "That's
the Way (I Like It)", "Get Down Tonight" (1975), dan (Shake,
Shake, Shake) Shake Your Booty" dan "I'm Your Boogie Man"
(1976).[11] Pada tahun 1976, peringkat majalah Billboard
diramaikan lagu-lagu hit yang judulnya memakai kata "disco",
misalnya: "Disco Lady" dari Johnnie Taylor, "Disco Inferno"
dari The Trammps, dan "Disco Duck" dari Rick Dees & His
Cast of Idiots.[18]

Ciri khas lagu disko yang lebih mementingkan tempo daripada
suara nyanyian membuat produser rekaman seperti Giorgio Moroder,
Frank Farian, Pete Bellotte, dan Mauro Malavasi ikut serta
sebagai pencipta lagu-lagu hit untuk berdisko.[11] Tren
produser menciptakan lagu disko berlangsung bersamaan dengan
kembali populernya penyanyi veteran R&B/soul seperti Diana
Ross dengan "Love Hangover" (1976), Marvin Gaye dengan
"Got to Give It Up" (1977), Johnnie Taylor dengan
"Disco Lady", Tyrone Davis dengan "Turning Point" (1976),
Donna Summer dengan "I Feel Love" (1977) dan "Last Dance"
(1978).

Kesuksesan piringan hitam disko juga memerlukan dukungan
dari para DJ di diskotek yang bertanggung jawab atas
seleksi lagu. Kepopuleran lagu disko juga ditentukan oleh
pengunjung di lantai-lantai disko. Lagu pilihan DJ kemungkinan
tidak akan diputar kembali bila terbukti gagal mengajak
pengunjung untuk melantai.[11] Produser dan perusahaan
rekaman juga mengambil inisiatif seleksi lagu dengan merilis
piringan hitam berisi lagu-lagu untuk diputar di diskotek.









Ciri khas album disko adalah jumlah lagu dalam satu album
yang hanya sedikit. Meskipun demikian, sebuah lagu memiliki
masa putar yang panjang agar pendengar dapat berdisko
untuk waktu yang lebih lama. Ketika dirilis sebagai singel,
lagu disko dirilis dalam bentuk singel 12 inci (piringan
hitam 30 cm).

Lagu-lagu diputar DJ di diskotek secara sambung-menyambung
sesuai dengan kecocokan tempo antara satu lagu dan lagu
berikutnya seperti petunjuk tempo yang tertera pada sampul.

Klub dansa khusus anggota bernama The Loft yang dibuka David
Mancuso di kediaman pribadinya di New York City pada tahun 1970
dianggap sebagai perintis klub-klub disko.

Setelah itu, klub-klub disko mulai bermunculan, dan tidak hanya
di New York. Klub disko paling terkenal di Manhattan sepanjang
akhir 1970-an dan awal 1980-an adalah Studio 54.

Disko di kalangan gay diwakili oleh Village People yang berhasil
menciptakan dua lagu hit pada tahun 1979, "In the Navy" dan
"Go West". Sebelumnya, penyanyi gay Sylvester mencetak lagu hit
"You Make Me Feel (Mighty Real)" pada tahun 1978.

*  Kesuksesan Saturday Night Feve









Kembalinya kepopuleran Bee Gees pada tahun 1976 ditandai oleh lagu
"You Should Be Dancing" yang sampai di urutan nomor satu di Billboard
Hot 100 sebelum menduduki tangga lagu Hot Dance Club Play selama 7
minggu berturut-turut, dan mencapai peringkat 5 UK Singles Chart
pada bulan Juli tahun sama.

Lagu "You Should Be Dancing" kemudian dipakai dalam film laris
Saturday Night Fever yang melambungkan John Travolta sebagai raja
disko pada tahun 1978. Dari album soundtrack film Saturday
Night Fever Bee Gees berhasil mencetak lagu hit "Night Fever".

Kelarisan film dan album Saturday Night Fever menjadikan disko
sebagai hobi baru generasi muda Amerika. Pada tahun 1979,
pendapatan dari industri musik disko di Amerika Serikat sebesar
AS$4 miliar per tahun. Di Amerika Serikat waktu itu diperkirakan
ada sekitar 15.000 diskotek.

Di kota-kota besar, diskotek dipadati oleh penggemar disko yang
berpakaian meniru pemeran film Saturday Night Fever. Pengunjung
pria mengenakan setelan tiga potong dari bahan poliester seperti
yang dikenakan John Travolta ketika memerankan Tony Manero, lengkap
dengan sepatu berhak tinggi dan liontin emas.

* Kemunduran

Setelah bertahun-tahun disko berada di puncak kepopuleran, sentimen
antidisko mulai berkembang terutama di Amerika Serikat. Kritik
terhadap musik disko diwujudkan dalam bentuk slogan "disco sucks"
yang disponsori stasiun-stasiun radio yang sebagian besar pendengarnya
orang kulit putih di perkotaan.

Puncak gerakan antidisko adalah acara Disco Demolition Night yang
diadakan di Stadion Comiskey Park, 12 Juli 1979. Penyelenggara acara
adalah DJ radio bernama Steve Dahl dibantu direktur promosi Chicago
White Sox bernama Mike Veeck.

Ketidaksenangan Veeck pada disko didukung Dahl yang sering mengatakan
"Disco sucks!" sepanjang siaran.
Penonton yang membawa piringan hitam lagu-lagu disko hanya dikenakan
harga tiket 98 sen untuk menyaksikan pertandingan bisbol doubleheader
antara Chicago White Sox dan Detroit Tigers.

Sebagai sebuah promosi pertandingan bisbol, acara tersebut di luar
dugaan didatangi penonton melampaui kapasitas stadion (angka resmi
jumlah penonton sebanyak 47.795 orang).

Puncak acara berupa penyalaan api anggun di tengah lapangan yang membakar
kira-kira 10.000 keping piringan hitam lagu-lagu disko. Namun pembakaran
tersebut diartikan penonton sebagai aba-aba untuk memulai kekacauan.

Penonton berlarian ke lapangan, merobohkan kandang latihan memukul dan
menjarahi pemukul bisbol hingga pertandingan kedua dihentikan.

Disko kehilangan momentumnya ketika tahun 1970-an berubah menjadi 1980-an.
Meskipun demikian, disko tidak mati, melainkan bermutasi menjadi berbagai
macam genre musik dance, mulai dari dance-pop dan hip-hop hingga house
music dan techno.

______________

Penutup
______________

Demikian infonya para kawan...!

Dan jika mau disimpulkan, maka penulis ingin berkata menghilangnya
musik dan tari Disco ini di tahun 70'an akhir disebabkan adanya
sentimen dari sekelompok orang di Amerika terhadap musik Disco.
Mereka mengahirinya dengan cara membuat kerusuhan.

Dengan kata lain...!

Disco bermula dari musik Kulit Hitam yang disukai oleh sebgaian
kulit putih dan sebagian lagi tidak.

Selamat malam...!





___________________________________________________________________________
Cat :
Disco dance competition 2015 x-act
FENIX dance studio - World Disco Dance Championship 2015 Bochum




Tidak ada komentar:

Posting Komentar